Bencana alam yang silih berganti menimpa negeri kita, mungkin menimbulkan pertanyaan di benak kita apa sebenarnya yang sedang terjadi. Selama ini kita hanya memahami bencana-bencana yang terjadi susul menyusul ini dengan pemahaman akal kita dari sisi ilmu pengetahuan. Pemikiran seperti idak salah. Tapi ternyata, bencana-bencana yang muncul beruntun bisa menjadi pertanda peringatan Allah akan sebuah kehancuran yang lebih besar, karena umat di negeri itu tidak lagi mengindahkan ajaran-ajaran Allah SWT bahkan menyimpangkannya. Inikah tanda-tanda akan datangnya azab yang lebih pedih lagi? Berikut wawancara eramuslim dengan Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) wilayah DKI Jakarta, Ustadz Syuhada Bahri.
Pak Ustadz, belakangan ini negara kita seperti tidak henti-hentinya dilanda bencana alam. Bagaimana Bapak melihat bencana alam yang bertubi-tubi ini, apakah ini sebuah gejala yang alam biasa yang bisa terjadi kapan saja?
Kalau kita kembali ke ayat-ayat Al-Quran, memang bencana-bencana ini kan peringatan. Artinya peringatan bagi umat manusia ketika manusia itu sudah mulai banyak menyimpang dari aturan-aturan agama. Bahkan kalau kita lihat di Surat Al-Isra ayat 58, disitu diceritakan, kalau dalam sebuah kehidupan itu sudah muncul kemunkaran dan kemaksiatan maka Allah akan menghancurkan negeri itu sehancur-hancurnya atau Allah akan mengazab penduduknya dengan azab yang pedih, dan banyak lagi ayat-ayat lainnya yang berkaitan dengan itu.
Dengan kata lain, ini bukan semata-mata bencana akibat akibat aktifitas bumi tapi bisa jadi merupakan peringatan dari Allah bagi kita umat manusia?
Kalau kita mengacu pada ayat itu, disebutkan ‘kalau sudah kemunkaran dan kemaksiatan’. Nah, kalau kita lihat kemunkaran dan kemaksiatan itu sebenarnya terjadi sudah sejak lama. Saya melihatnya…ini saya ya, memang sejak dulu sudah terjadi kemunkaran dan kemaksiatan di negeri kita, seperti minuman keras, judi, zinah, dan yang semacamnya. Tapi kalau kita lihat pada hukum Islam, pelakunya, itu kan menjadi orang yang berdosa besar. Tetapi akhir-akhir ini, kemunkaran dan kemaksiatannya itu meningkat. Bahkan saya sering mengatakan kemunkaran yang paling munkar, yaitu penolakan terhadap syariat Islam. Kemudian memahami Islam seperti maunya akal. Nah, saya melihatnya itu adalah kemunkaran yang paling munkar. Karena kalau misalnya minuman keras dan judi itu kemungkaran dan menyebabkan pelakunya berbuat dosa. Tapi kalau sudah menolak syariat Islam, ini kan sama dengan penolakan terhadap wahyu, sama dengan penolakan terhadap Allah.
Kemudian, ketika memahami Islam seperti maunya akal, itu kan wujud perlawanan manusia terhadap Allah. Karena yang paling tahu apa yang dimaksud oleh Al-Quran adalah Allah dan Rasulnya. Kadang realitas empirik dijadikan alat untuk mengubah agama. Seperti misalnya di tv pernah ada acara yang membahas Islam dan pluralisme. Kalau saya ikuti dari dialog itu, mengarah pada …. karena di Indonesia ini plural dalam beragama, maka pemahaman agamanya yang harus diubah. Ini adalah bentuk perlawanan. Jadi kalau dosa, itu dosa yang paling besar. Nah, inilah yang sekarang ini muncul. Maka, boleh jadi bencana-bencana yang datang akhir-akhir ini, karena kalu dulu baru bersifat kemunkaran yang bersifat dosa, sekarang ini sudah pada taraf penolakan syariah.
Melihat situasi seperti sekarang ini, bencana di mana-mana, sebagai Muslim apa yang bisa kita lakukan selain meningkatkan iman dan taqwa kita?
Yang pasti, orang yang menolak syariat Islam akan tetap saja…dia tidak akan percaya. Dan biarkan saja mereka seperti itu, tetapi yang pasti azab itu akan tetap datang. Oleh karena itu, saya berharap, kongres umat Islam yang saat ini sedang berlangsung juga mencoba mengkaji realitas yang ada ini dengan menggunakan Al-Quran dan Hadist bukan dengan menggunakan akalnya.
Sama halnya ketika Kuwait diserang oleh Irak, para ulama-ulama disana berkumpul dan melakukan evaluasi. Kesimpulan mereka, ini adalah peringatan Allah karena Kuwait sudah terlalu jauh dari jalan Allah. Pada saat itulah diputuskan perlu adanya upaya penerapan syariah Islam. Nah, saya berharap konferensi umat Islam yang sekarang juga seperti itu. Artinya, cobalah dibaca kembali realitas ini dengan menggunakan ayat Al-Quran dan Hadist, jangan menggunakan otak.
Apakah seruan-seruan yang dilakukan oleh pemuka-pemuka Islam agar kita meningkatkan iman dan taqwa dalam menghadapi aneka bencana belum cukup?
Itu penting. Tapi bagaimanapun seruan-seruan itu dilakukan oleh tokoh-tokoh tapi kalau sikapnya kemudian tidak setuju dengan penerapan syariat Islam, itu kan sama aja seperti teriak di gurun pasir.
Bagaimana peranan para pemuka agama atau da’i-da’i untuk memberikan penyadaran pada umat Islam agar mau melihat lebih dalam lagi atas maraknya bencana yang muncul belakangan ini?
Secara pribadi, kita harus memulai dan mengubah perilaku kita. Cuma, sekarang ini ada satu hal yang kadang-kadang membuat kita sulit. Dalam kultur Indonesia yang paternalistik, yang dilihat itu bukan Al-Quran dan sunnahnya, yang dilihat itu ustadznya, pak kyai nya. Nah, kalau kyai nya tidak bisa memberi contoh yang baik, kadang-kadang mereka akan berkomentar,’ya apalah kita, kita kan enggak ngerti apa-apa. Kyai itu kan punya ilmu, kalau kyai atau ustadznya begitu, ya ikut sajalah ….’ begitu komentar mereka. Ini yang barangkali, proses pencerdasan ke arah sana yang harus kita lakukan.
Apa perlu dilakukan taubat bersama seperti yang pernah dilakukan dulu?
Kalau soal taubat, Nabi saja yang tidak pernah berbuat dosa dalam sehari paling sedikit 70 kali bertaubat. Sementara kita yang berlumuran dosa, justru bangga. Makanya ya ….kalau kita simak syair lagu Ebiet itu ya mungkin … kita sudah mulai bangga dengan dosa-dosa. Saya punya keyakinan, kalau pendekatan dalam menghadapi musibah demi musibah, bencana demi bencana itu hanya sebatas melakukan pendekatan scientific, keilmuan begitu, saya punya keyakinan itu tidak akan pernah menyelesaikan masalah sebab tidak disitu letak permasalahannya.
Kalau orang mengatakan ada lempengan-lempengan, lempengan itu kan ada dari sejak dulu, kenapa baru sekarang? Karena mungkin kalau dulu Allah menganggapnya belum ada sesuatu yang pantas diingatkan, karena kemunkarannya masih kemunkaran yang biasa. Tapi sekarang ini, sejak lima tahun terakhir, kecenderungan penolakan atas syariat Islam sangat luar biasa.
Jadi menurut saya, yang menyebabkan bencana-bencana ini adalah, yang pertama adanya penolakan syariat Islam untuk berlaku dalam hidup dan kehidupan kita, yang kedua memahami Islam seperti kemauan akal pikiran manusia. Kita harus menghadapi bencana ini dengan iman, bukan dengan akal semata-mata. (ln/eramuslim)